Alhamdulillah, puji pujian ku persembahkan kepada pemilik alam semesta ini, pengatur hidup makhluk ini, pengasih dan penyayang setiap makhluknya, maha adil, maha bijaksana, maha pengampun hambanya yang kembali kepadanya. Selawat dan Salam ke atas Rasul tercinta, makhluk yang paling mulia, kekasih raja alam, pemimpin manusia, Nabi muhammad SAW, beserta keluarga, para sohabat, tabi’in, tabi’u tabi’in, dan semua yang mengikuti mereka hingga Akhir alam.
Bid’ah hasanah adalah persoalan yang tidak pernah selesai dibicarakan. Hal ini terjadi kerana banyak perkara baru yg menjadi amalan kaum Muslimin yang pada asalnya terangkum dalam bingkai bid’ah hasanah, juga karena adanya kelompok kecil umat Islam yang sangat ekstrem/pelampau menyuarakan tidak adanya bid’ah hasanah dalam Islam.
Akhirnya pelbagai polemik tentang bid’ah hasanah timbul dan mengelirukan dikalangan org awam dan perlu diperjelaskan . Sepatutnya khilafiyah tentang pembagian bid’ah menjadi dua, antara bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, tidak perlu terjadi kerana dalil-dalil Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang menunjukkan adanya bid’ah hasanah cukup banyak dan sangat kuat, juga kerana konsep bid’ah hasanah telah diakui sejak generasi sahabat pada masa Khulafaur Rasyidin.
Para ulama zaman silam, telah membahagikan bid ah kpd 2 keadaan iaitu, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah, merupakan satu keharusan mengamalkannya dan sumber2 dipetik sekian banyak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang shahih dan terdapat dalam kitab-kitab hadits yang (mu’tabar). kerana meskipun Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
(رواه مسلم)
“Jabir bin Abdullah berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik ucapan adalah kitab Allah. Sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad. Sejelek-jelek perkara, adalah perkara yang baru. Dan setiap bid’ah itu kesesatan.” (HR. Muslim [867]).
Namun begitu, Perlu kita fahami, Rasulullah SAW juga bersabda :
عَنْ جَرِيْرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ الْبَجَلِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَيْءٌ وَمَنْ سَنَّ فِي اْلإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مَنْ بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَيْءٌ
رواه مسلم
“Jarir bin Abdullah al-Bajali r.a berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dan buruk dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).
رواه مسلم
“Jarir bin Abdullah al-Bajali r.a berkata, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan memperoleh pahalanya serta pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari pahala mereka. Dan barangsiapa yang memulai perbuatan jelek dan buruk dalam Islam, maka ia akan memperoleh dosanya dan dosa orang-orang yang melakukannya sesudahnya tanpa dikurangi sedikitpun dari dosa mereka.” (HR. Muslim [1017]).
Dalam hadits pertama, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan, bahawa setiap bid’ah adalah sesat. Tetapi dalam hadits kedua, Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menegaskan pula, bahwa barangsiapa yang memulai perbuatan baik dalam Islam, maka ia akan mendapatkan pahalanya dan pahala orang-orang yang melakukannya sesudahnya. Dengan demikian, hadits kedua jelas membatasi jangkauan makna hadits pertama “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)” sebagaimana dikatakan oleh al-Imam al-Nawawi dan lain-lain. Karena dalam hadits kedua, Nabi shallallahu alaihi wa sallam menjelaskan dengan redaksi, “Barangsiapa yang memulai perbuatan yang baik”, maksudnya baik perbuatan yang dimulai tersebut pernah dicontohkan dan pernah ada pada masa Nabi SAW, atau belum pernah dicontohkan dan belum pernah ada pada masa Nabi SAW. Di sisi lain,
Contohnya berkaitan dengan tatacara ma’mum masbuq dalam solat berjamaah dalam hadis sahih berikut ini:
عَنْ عَبْدِالرَّحْمنِ بْنِ أَبِيْ لَيْلَى قَالَ: (كَانَ النَّاسُ عَلَى عَهْدِ رَسُوْلِ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا جَاءَ الرَّجُلُ وَقَدْ فَاتَهُ شَيْءٌ مِنَ الصَّلاَةِ أَشَارَ إِلَيْهِ النَّاسُ فَصَلَّى مَا فَاتَهُ ثُمَّ دَخَلَ فِي الصَّلاَةِ ثُمَّ جَاءَ يَوْمًا مُعَاذٌ بْنُ جَبَلٍ فَأَشَارُوْا إِلَيْهِ فَدَخَلَ وَلَمْ يَنْتَظِرْ مَا قَالُوْا فَلَمَّا صَلَّى النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم ذَكَرُوْا لَهُ ذَلِكَ فَقَالَ لَهُمْ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم «سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ».وَفِيْ رِوَايَةِ سَيِّدِنَا مُعَاذٍ بْنِ جَبَلٍ: (إِنَّهُ قَدْ سَنَّ لَكُمْ مُعَاذٌ فَهَكَذَا فَاصْنَعُوْا). رواه أبو داود وأحمد ، وابن أبي شيبة، وغيرهم، وقد صححه الحافظ ابن دقيق العيد والحافظ ابن حزم
“Abdurrahman bin Abi Laila berkata: “Pada masa Rasulullah SAW, bila seseorang datang terlambat beberapa rakaat mengikuti shalat berjamaah, maka orang-orang yang lebih dulu datang akan memberi isyarat kepadanya tentang rakaat yang telah dijalani, sehingga orang itu akan mengerjakan rakaat yang tertinggal itu terlebih dahulu, kemudian masuk ke dalam solat berjamaah bersama mereka. Pada suatu hari Mu’adz bin Jabal datang terlambat, lalu orang-orang mengisyaratkan kepadanya tentang jumlah rakaat shalat yang telah dilaksanakan, akan tetapi Mu’adz langsung masuk dalam shalat berjamaah dan tidak menghiraukan isyarat mereka, namun setelah Rasulullah SAW selesai shalat, maka Mu’adz segera mengganti rakaat yang tertinggal itu. Ternyata setelah Rasulullah SAW selesai shalat, mereka melaporkan perbuatan Mu’adz bin Jabal yang berbeZa dengan kebiasaan mereka. Lalu Nabi SAW menjawab: “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat solat kalian.” Dalam riwayat Mu’adz bin Jabal, Nabi SAW bersabda; “Mu’adz telah memulai cara yang baik buat sOLAT kalian. Begitulah cara solat yang harus kalian kerjakan”. (HR. al-Imam Ahmad (5/233), Abu Dawud, Ibn Abi Syaibah dan lain-lain. Hadits ini dinilai shahih oleh al-Hafizh Ibn Daqiq al-’Id dan al-Hafizh Ibn Hazm al-Andalusi).
Hadits ini menunjukkan bolehnya membuat perkara baru dalam ibadah, seperti solat atau lainnya, apabila sesuai dengan tuntunan syara’. Dalam hadis ini, Nabi SAW tidak menegur Mu’adz dan tidak pula berkata, “Mengapa kamu membuat cara baru dalam solat sebelum bertanya kepadaku?”, bahkan beliau membenarkannya, karena perbuatan Mu’adz sesuai dengan aturan solat berjamaah, iaitu makmum harus mengikuti imam.
Dalam hadits yg lain pula, juga ada diriwayatkan:
وَعَنْ سَيِّدِنَا رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رضي الله عنه قَالَ : كُنَّا نُصَلِّيْ وَرَاءَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فَلَمَّا رَفَعَ رَأْسَهُ مِنَ الرَّكْعَةِ قَالَ (سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ) قَالَ رَجُلٌ وَرَاءَهُ رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ حَمْدًا كَثِيْرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيْهِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قاَلَ (مَنِ الْمُتَكَلِّمُ؟) قَالَ : أَنَا قاَلَ: «رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِيْنَ مَلَكًا يَبْتَدِرُوْنَهَا أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا»
رواه البخاري“Rifa’ah bin Rafi’ RA berkata: “Suatu ketika kami solat bersama Nabi SAW. Ketika beliau bangun dari ruku’, beliau berkata: “sami’allahu liman hamidah”. Lalu seorang laki-laki di belakangnya berkata: “rabbana walakalhamdu hamdan katsiran thayyiban mubarakan fiih”. Setelah selesai solat, beliau bertanya: “Siapa yang membaca kalimat tadi?” Laki-laki itu menjawab: “Saya”. Beliau bersabda: “Aku telah melihat lebih 30 malaikat berebutan menulis pahalanya”. (HR. al-Bukhari [799]).
Kedua sahabat di atas mengerjakan perkara baru yang belum pernah diterimanya dari Nabi SAW , Iaitu menambah bacaan zikir dalam i’tidal. Ternyata Nabi SAW membenarkan perbuatan mereka, bahkan memberi khabar gembira tentang pahala yang mereka lakukan, keranaa perbuatan mereka sesuai dengan syara’, di mana dalam i’tidal itu tempat memuji kepada Allah. Oleh karena itu al-Imam al-Hafizh Ibn Hajar al-’Asqalani menyatakan dalam Fath al-Bari (2/267), bahwa hadits ini menjadi dalil bolehnya membuat zikir baru dalam solat, selama zikir tersebut tidak menyalahi zikir yang ma’tsur (datang dari Nabi SAW), dan bolehnya mengeraskan suara dalam bacaan dzikir selama tidak mengganggu orang lain. Seandainya hadits “kullu bid’atin dhalalah (setiap bid’ah adalah sesat)”, bersifat umum tanpa pembatasan, tentu saja Rasulullah SAW akan melarang setiap bentuk Kreativiti atau daya usaha penambahan dalam agama ketika beliau masih hidup.
Al-Bukhari telah meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ
رواه البخاري
“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khattab. Ternyata orang-orang di masjid berpuak2 dalam sekian kelompok. Ada yang solat sendirian. Ada juga yang solat menjadi imam beberapa orang. Lalu Saidinar Umar RA berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khattab, dan mereka melaksanakan solat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan solat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).
Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan solat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar RA juga tidak dilakukan. Kemudian pada zaman Umar RA, beliau mengumpulkan mereka untuk melakukan solat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, kerana itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَبْدٍ الْقَارِيِّ أَنَّهُ قَالَ: خَرَجْتُ مَعَ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رضي الله عنه لَيْلَةً فِيْ رَمَضَانَ إلى الْمَسْجِدِ فَإِذًا النَّاسُ أَوْزَاعٌ مُتَفَرِّقُوْنَ يُصَلِّي الرَّجُلُ لِنَفْسِهِ وَيُصَلِّي الرَّجُلُ فَيُصَلِّيْ بِصَلاَتِهِ الرَّهْطُ فَقَالَ عُمَرُ t: إِنِّيْ أَرَى لَوْ جَمَعْتُ هَؤُلاَءِ عَلَى قَارِئٍ وَاحِدٍ لَكَانَ أَمْثَلَ ثُمَّ عَزَمَ فَجَمَعَهُمْ عَلَى أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ ثُمَّ خَرَجْتُ مَعَهُ لَيْلَةً أُخْرَى وَالنَّاسُ يُصَلُّوْنَ بِصَلاةِ قَارِئِهِمْ قَالَ عُمَرُ: نِعْمَتِ الْبِدْعَةُ هَذِهِ وَالَّتِيْ نَامُوْا عَنْهَا أَفْضَلُ مِنَ الَّتِيْ يَقُوْمُوْنَ يُرِيْدُ آخِرَ اللَّيْلِ وَكَانَ النَّاسُ يَقُوْمُوْنَ أَوَّلَهُ
رواه البخاري
“Abdurrahman bin Abd al-Qari berkata: “Suatu malam di bulan Ramadhan aku pergi ke masjid bersama Umar bin al-Khattab. Ternyata orang-orang di masjid berpuak2 dalam sekian kelompok. Ada yang solat sendirian. Ada juga yang solat menjadi imam beberapa orang. Lalu Saidinar Umar RA berkata: “Aku berpendapat, andaikan mereka aku kumpulkan dalam satu imam, tentu akan lebih baik”. Lalu beliau mengumpulkan mereka pada Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, aku ke masjid lagi bersama Umar bin al-Khattab, dan mereka melaksanakan solat bermakmum pada seorang imam. Menyaksikan hal itu, Umar berkata: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini. Tetapi menunaikan solat di akhir malam, lebih baik daripada di awal malam”. Pada waktu itu, orang-orang menunaikan tarawih di awal malam.” (HR. al-Bukhari [2010]).
Rasulullah SAW tidak pernah menganjurkan solat tarawih secara berjamaah. Beliau hanya melakukannya beberapa malam, kemudian meninggalkannya. Beliau tidak pernah pula melakukannya secara rutin setiap malam. Tidak pula mengumpulkan mereka untuk melakukannya. Demikian pula pada masa Khalifah Abu Bakar RA juga tidak dilakukan. Kemudian pada zaman Umar RA, beliau mengumpulkan mereka untuk melakukan solat tarawih pada seorang imam dan menganjurkan mereka untuk melakukannya. Apa yang beliau lakukan ini tergolong bid’ah. Tetapi bid’ah hasanah, kerana itu beliau mengatakan: “Sebaik-baik bid’ah adalah ini”.
Dalam sahihnya, Al-Bukhari meriwayatkan :
وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رضي الله عنه وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ
رواه البخاري“Al-Sa’ib bin Yazid RA berkata: “Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar azan Jumaat pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Usman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah azan ketiga di atas Zaura’, iaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).
وَعَنِ السَّائِبِ بْنِ يَزِيْدَ رضي الله عنه قَالَ: كَانَ النِّدَاءُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ أَوَّلهُ إِذَا جَلَسَ الإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَأَبِيْ بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ عُثْمَانُ رضي الله عنه وَكَثُرَ النَّاسُ زَادَ النِّدَاءَ الثَّالِثَ عَلىَ الزَّوْرَاءِ وَهِيَ دَارٌ فِيْ سُوْقِ الْمَدِيْنَةِ
رواه البخاري“Al-Sa’ib bin Yazid RA berkata: “Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar azan Jumaat pertama dilakukan setelah imam duduk di atas mimbar. Kemudian pada masa Usman, dan masyarakat semakin banyak, maka beliau menambah azan ketiga di atas Zaura’, iaitu nama tempat di Pasar Madinah.” (HR. al-Bukhari [916]).
Penerangan:
Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar azan Jumaat dikumandangkan apabila imam telah duduk di atas mimbar. Pada masa Usman, kota Madinah semakin luas, populasi penduduk semakin meningkat, sehingga mereka perlu mengetahui dekatnya waktu Jumaat sebelum imam hadir ke mimbar. Lalu Ussman menambah azan pertama, yang dilakukan di Zaura’, tempat di Pasar Madinah, agar mereka segera berkumpul untuk menunaikan solat Jumaat, sebelum imam hadir ke atas mimbar. Semua sahabat yang ada pada waktu itu menyetujuinya. Apa yang beliau lakukan ini termasuk bid’ah, tetapi bid’ah hasanah dan dilakukan hingga sekarang oleh kaum Muslimin. Benar pula menamainya dengan sunnah, karena Usman termasuk Khulafaur Rasyidin yang sunnahnya harus diikuti berdasarkan hadits sebelumnya.
Seterusnya, pelbagai penambahan yg bersesuaian dgn keagamaan ( berpaksikan dalil Am ) juga dilakukan oleh para sahabat secara individu. Dalam kitab-kitab hadits diriwayatkan, beberapa sahabat seperti Umar bin al-Khaththab, Abdullah bin Umar, Anas bin Malik, al-Hasan bin Ali dan lain-lain menyusun doa talbiyah-nya ketika menunaikan ibadah haji berbeza dengan susunan talbiyah yang datang dari Nabi SAW. Para ulama ahli hadits seperti al-Hafizh al-Haitsami meriwayatkan dalam Majma’ al-Zawaid, bahwa Anas bin Malik dan al-Hasan al-Bashri melakukan s0lat Qabliyah dan Ba’diyah solat idul fitri dan idul adhha.
Hasil penelitian sekian banyak hadits-hadits shahih di atas, serta perilaku para sahabat, para ulama akhirnya membuat kesimpulan bahawa bid’ah terbagi menjadi dua, bid’ah hasanah dan bid’ah sayyi’ah.
Al-Imam al-Syafi’i, seorang mujtahid pendiri madzhab al-Syafi’i berkata:
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
اَلْمُحْدَثَاتُ ضَرْبَانِ: مَا أُحْدِثَ يُخَالِفُ كِتَابًا أَوْ سُنَّةً أَوْ إِجْمَاعًا فَهُوَ بِدْعَةُ الضَّلالَةِ وَمَا أُحْدِثَ فِي الْخَيْرِ لاَ يُخَالِفُ شَيْئًا مِنْ ذَلِكَ فَهُوَ مُحْدَثَةٌ غَيْرُ مَذْمُوْمَةٍ
الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ١/٤٦٩“Bid’ah (muhdatsat) ada dua macam; pertama, sesuatu yang baru yang menyalahi al-Qur’an atau Sunnah atau Ijma’, dan itu disebut bid’ah dhalalah (tersesat). Kedua,sesuatu yang baru dalam kebaikan yang tidak menyalahi al-Qur’an, Sunnah dan Ijma’ dan itu disebut bid’ah yang tidak tercela”. (Al-Baihaqi, Manaqib al-Syafi’i, 1/469).
Pernyataan al-Imam al-Syafi’i ini juga disetujui oleh Syaikh Ibn Taimiyah al-Harrani dalam kitabnya, Majmu’ Fatawa Syaikh al-Islam Ibn Taimiyah (juz. 20, hal. 163).”
CARA MENJAWAB KENYATAAN PUAK2 WAHABI @ ITTIBA SUNNAH
Puak Wahabi: “Ustaz, dalam soal ibadah kita tidak boleh membuat-buat sendiri. Kita terikat dengan kaedah al-ashlu fil-ibadah al-buthlan hatta yadulla al-dalil ‘ala al-’amal, (hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya)”.
CARA JAWAB BALAS: “Kaedah yang Awak sebutkan itu tidak disebut dalam ilmu fiqh. Dan sekiranya kaedah yang Awak sebutkan ada dalam ilmu fiqh, maka kaedah tersebut tidak menolak adanya bid’ah hasanah. Karena Awak tadi mengatakan, bahawa dalam soal ibadah tidak boleh membuat-buat sendiri. Maksud Awak tidak boleh membuat/menamakan bid’ah hasanah. Bukankah awak berhujjah dengan kaedah, hukum asal dalam sebuah ibadah adalah batal, sebelum ada dalil yang menunjukkan kebenaran mengamalkannya. Tadi sudah saya buktikan, bahwa bid’ah hasanah banyak sekali dalilnya. Bermaksud, kaedah saudara membenarkan mengamalkan bid’ah hasanah, kerana dalilnya jelas.”
_________________________________________
Puak Wahabi: “Ustaz, dalam surat al-Maidah, ayat 3 disebutkan:
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
اَلْيَوْمَ اَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ
“Pada hari ini aku sempurnakan bagimu agamamu dan aku sempurnakan bagimu nikmat-Ku.” (QS. al-Maidah : 3)”
Ayat di atas menegaskan bahwa Islam telah sempurna. Dengan demikian, orang yang melakukan bid’ah hasanah berarti beranggapan bahawa Islam belum sempurna, sehingga masih perlu disempurnakan dengan bid’ah hasanah.”
CARA JAWAB BALAS: “Ayat 3 dalam surat al-Maidah yang saudara sebutkan tidak berkaitan dengan bid’ah hasanah. Kerana yang dimaksud dengan penyempurnaan agama dalam ayat tersebut, seperti dikatakan oleh para ulama tafsir, adalah bahawa Allah subhanahu wa ta’ala telah menyempurnakan kaedah-kaedah agama. Seandainya yang dimaksud dengan ayat tersebut, tidak boleh melakukan bid’ah hasanah, tentu saja para sahabat sepeninggal Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tidak akan melakukan bid’ah hasanah. Sayidina Abu Bakar menghimpun al-Qur’an, Sayyidina Umar menjadikan solat tarawih secara berjamaah, dan Sayyidina Utsman menambah azan Jumaat menjadi dua kali, serta berbagai bidaah hasanah lainnya yang diterangkan dalam kitab-kitab hadits. Dalam hal ini tak seorang pun dari kalangan sahabat yang menolak hal-hal baru tersebut dengan alasan ayat 3 surat al-Maidah tadi. Jadi, ayat yang saudara sebutkan tidak ada kaitannya dengan bid’ah hasanah. Justeru bid’ah hasanah masuk dalam kesempurnaan agama, kerana dalil-dalilnya terdapat dalam sekian banyak hadits Rasul SAW dan perilaku para sahabat.” ____________________________________________
PUAK wAHABI: “Ustaz, hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali, tidak tepat dijadikan dalil bid’ah hasanah. Karena hadis tersebut jelas membicarakan sunnah Rasul SAW. Bukankah ia berbunyi, man sanna fil Islaam sunnatan hasanatan. Di samping itu, hadits tersebut mempunyai latar belakang, iaitu anjuran sedekah. Dan sudah maklum bahwa sedekah memang ada galakannya dalam al-Qur’an dan Sunnah. Jadi hadits yang Ustaz jadikan dalil bid’ah hasanah tidak tepat dan tidak selari.”
CARA JAWAB BALAS: “Untuk memahami hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut kita harus berfikir dgn cermat dan teliti. Pertama, kita harus tahu bahwa yang dimaksud dengan sunnah dalam teks hadits tersebut adalah sunnah secara lughawi (bahasa). Secara bahasa, sunnah dimaksudkan dengan al-thariqah mardhiyyatan kanat au ghaira mardhiyyah (perilaku dan perbuatan, baik perbuatan yang diredhai atau pun tidak). Sunnah dalam teks hadits tersebut tidak boleh dimaksudkan dengan Sunnah dalam istilah ilmu hadits, iaitu ma ja’a ‘aninnabiy shallallahu alaihi wa sallam min qaulin au fi’lin au taqrir (segala sesuatu yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wa sallam, baik berupa ucapan, perbuatan maupun pengakuan). Sunnah yg dinyatakan ahli hadits seperti ini, berkembang setelah abad kedua Hijriah. Sekiranya, Sunnah dalam teks hadits Jarir bin Abdullah al-Bajali tersebut dimaksudkan dengan Sunnah Rasul SAW mengikut pemahaman ahli hadits, maka pengertian hadits tersebut akan menjadi kabur dan keliru. Cuba kita fahami secara jelas, dalam teks hadits tersebut ada dua kalimat yang belawanan, pertama kalimat man sanna sunnatan hasanatan. Dan kedua, kalimat berikutnya yang berbunyi man sanna sunnatan sayyi’atan. Disini , kalau kosa kata Sunnah dalam teks hadits tersebut kita maksudkan pada Sunnah Rasul SAW dalam pemahaman ahli hadits tadi, maka akan melahirkan sebuah pengertian bahawa Sunnah Rasul SAW itu ada yang hasanah (baik) dan ada yang sayyi ah (jelek/buruk). Tentu saja ini pengertian sangat keliru. Oleh sebab itu, para ulama seperti al-Imam al-Nawawi menegaskan, bahawa hadits man sanna fil islam sunnatan hasanatan, membatasi jangkauan makna hadits kullu bid’atin dhalalah, kerana makna haditsnya sangat jelas, tidak perlu disangsikan lagi.
Seterusnya, alasan saudara bahawa konteks yang menjadi latar belakang (asbab al-wurud) hadits tersebut berkaitan dengan anjuran sedekah, maka alasan ini sangat lemah sekali. Bukankah dalam ilmu Ushul Fiqh telah kita kenal kaedah, al-’ibrah bi ’umum al-lafzhi la bi-khusush al-sabab, (peninjauan dalam makna suatu teks itu tergantung pada ke'umum'man kalimah, bukan melihat pada konteksnya yang khusus).”
______________________________________
Puak Wahabi: “Ustaz, menurut al-Imam Ibn Rajab, bid’ah hasanah itu tidak ada. Yang ada ,namanya bid’ah itu pasti sesat.”
CARA JAWAB BALAS: “ sebenarnya sAUDARa salah faham dalam mengutip/memahami pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Sebenarnya al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbezaan istilah saja.
CARA JAWAB BALAS: “ sebenarnya sAUDARa salah faham dalam mengutip/memahami pendapat al-Imam Ibn Rajab al-Hanbali. Sebenarnya al-Imam Ibn Rajab itu mengakui bid’ah hasanah. Hanya saja beliau tidak mau menamakan bid’ah hasanah dengan bid’ah, tetapi beliau namakan Sunnah. Jadi hanya perbezaan istilah saja.
Buktinya kita boleh lihat, bahwa Ibn Rajab menerima bid’ah hasanah, dalam kitabnya, Jami’ al-’Ulum wa al-Hikam fi Syarth Khamsin Haditsan min Jamawi’ al-Kalim, beliau mengutip pernyataan al-Imam al-Syafi’i yang membahagikan bid’ah menjadi dua. Dan sekiranya al-Imam Ibn Rajab memang berpendapat seperti yang spt saudara katakan, kita tidak akan mengikuti beliau, tetapi kami akan mengikuti Rasulullah SAW dan para sahabat yang mengakui adanya bid’ah hasanah.”
________________________________
________________________________
Puak Wahabi: “Ustaz, dalil-dalil yang ustaz nyatakan dari Khulafaur Rasyidin, seperti dari Khalifah Umar, Usman dan Ali, itu tidak boleh dijadikan dalil bid’ah hasanah Kerana mereka termasuk Khulafa' Rasyidin. Dan Rasulullah SAW telah memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin, dalam hadits ‘alaikum bisunnati wa sunnatil khulafair rasyidin al-mahdiyyin (ikutilah sunnahku dan sunnah Khulafaur Rasyidin yang memperoleh petunjuk). Dengan demikian, apa yang mereka lakukan sebenarnya termasuk Sunnah berdasarkan hadits ini.”
CARA JAWAB BALAS : “Apa yg saya faham sebenarnya 'yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti saudara Kerana Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah SAW memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Bererti Rasulullah SAW menyetujui kita melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya selagi mana terpayung dgn dalil am
CARA JAWAB BALAS : “Apa yg saya faham sebenarnya 'yang tidak mengikuti Khulafaur Rasyidin itu orang yang menolak bid’ah hasanah seperti saudara Kerana Khulafaur Rasyidin sendiri melakukan bid’ah hasanah. Rasulullah SAW memerintahkan kita mengikuti Khulafaur Rasyidin Sementara Khulafaur Rasyidin melakukan bid’ah hasanah. Bererti Rasulullah SAW menyetujui kita melakukan bid’ah hasanah. Dengan demikian kami yang berpendapat dengan adanya bid’ah hasanah itu sebenarnya mengikuti Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin. Oleh karena itu, mari kita ikuti Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin dengan melakukan bid’ah hasanah sebanyak-banyaknya selagi mana terpayung dgn dalil am
( al Quran , As sunnah)”.
__________________________________________
Puak Wahabi: “kalau ustaz mengatakan bahawa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan maksud bahawa sebahagian bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah ustaz akan mengertikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebahagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustaz berani menyatakan demikian?”
CARA JAWAB BALAS: Dalam menDEFINISIkan maksud hadis tersebut , kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu atau memahami secara rigid tanpa memahami secara jelas. kita tidak boleh melihat satu2 hadis sahaja ,Kita juga perlu melihat hadis2 yg lain yg maksudnya lebih kurang sama dgn nya dan hadis2 lain yg menyokong bidaah hasanah. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama menDEFINISIkan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan maksud sebahagian besar bid’ah itu sesat, kerana ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini saya tegaskan, bahawa selama saya tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu.”
___________________________________________
__________________________________________
Puak Wahabi: “kalau ustaz mengatakan bahawa hadits kullu bid’atin dhalalah maknanya terbatas dengan maksud bahawa sebahagian bid’ah itu sesat, bukan semua bid’ah, lalu apakah ustaz akan mengertikan teks berikutnya, yang berbunyi wa kullu dhalalatin finnar, dengan pengertian yang sama, bahwa sebahagian kesesatan itu masuk neraka, bukan semuanya. Apakah Ustaz berani menyatakan demikian?”
CARA JAWAB BALAS: Dalam menDEFINISIkan maksud hadis tersebut , kita tidak boleh mengikuti hawa nafsu atau memahami secara rigid tanpa memahami secara jelas. kita tidak boleh melihat satu2 hadis sahaja ,Kita juga perlu melihat hadis2 yg lain yg maksudnya lebih kurang sama dgn nya dan hadis2 lain yg menyokong bidaah hasanah. Akan tetapi kita harus mengikuti al-Qur’an dan Sunnah pula. Para ulama menDEFINISIkan teks hadits kullu bid’atin dhalalah dengan maksud sebahagian besar bid’ah itu sesat, kerana ada sekian banyak hadits yang menuntut demikian. Sedangkan berkaitan teks berikutnya, wa kullu dhalalatin finnar (setiap kesesatan itu di neraka), di sini saya tegaskan, bahawa selama saya tidak menemukan dalil-dalil yang membatasi jangkauan maknanya, maka kami akan tetap berpegang pada keumumannya. Jadi makna seluruh atau sebagian dalam sebuah teks itu tergantung dalil. Yang namanya dalil, ya al-Qur’an dan Sunnah. Jadi membatasi jangkauan makna dalil, dengan dalil pula, bukan dengan hawa nafsu.”
___________________________________________
Hujjah kenyataan Puak wahabi: bid’ah hasanah itu tidak ada. Semua bid’ah pasti sesat dan masuk neraka. Menurut mereka, apapun yang tidak pernah ada pada masa Rasulullah SAW , harus ditinggalkan, kerana termasuk bid’ah dan akan masuk neraka.
CARA JAWAB BALAS : “SESUNGGUHNYA SAUDARA sangat ekstrem/ melampau dalam membicarakan tentang bid’ah. Menurut saudara, apa saja yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW itu pasti bid’ah dan akan masuk neraka. Kalau mcm tu saya nak tanya, Sayidina Umar bin al-Khattab memulakan tradisi solat tarawih 20 raka’at dengan berjamaah, Sayidina Usman menambah azan Jum’at menjadi dua kali, sahabat-sahabat yang lain juga banyak yang membuat susunan-susunan zikir yang tidak diajarkan oleh Rasulullah SAW. Sekarang saya nak tanya lagi, Beranikah Anda mengatakan bahwa Sayidina Umar, Sayidina Usman dan sahabat lainnya termasuk ahli bid’ah dan akan masuk neraka?” Bila disoal soalan mcm ni Puak Wahabi, tak berani nak jawab dan hanya terdiam seribu bahasa, tidak mampu memberikan jawapan balas.
_________________________________________
Kita tengok bagaimana perilaku Al imam Ahmad bin Hanbal pernah yg membuat doa dan munajatnya sendiri..Bagaimana dengan doa al-Imam Ahmad bin Hanbal dalam sujud ketika solat selama 40 tahun yang berbunyi:
قَالَ اْلإِمَامُ أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ: إِنِّيْ لأَدْعُو اللهَ لِلشَّافِعِيِّ فِيْ صَلاَتِيْ مُنْذُ أَرْبَعِيْنَ سَنَةً، أَقُوْلُ: اَللَّهُمَّ اغْفِرْ لِيْ وَلِوَالِدَيَّ وَلِمُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيْسَ الشَّافِعِيِّ
الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ۲/۲٥٤
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam solat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
الحافظ البيهقي، مناقب الإمام الشافعي، ۲/۲٥٤
“Al-Imam Ahmad bin Hanbal berkata: “Saya mendoakan al-Imam al-Syafi’i dalam solat saya selama empat puluh tahun. Saya berdoa, “Ya Allah ampunilah aku, kedua orang tuaku dan Muhammad bin Idris al-Syafi’i.” (Al-Hafizh al-Baihaqi, Manaqib al-Imam al-Syafi’i, 2/254).
Doa seperti itu sudah pasti tidak pernah dilakukan oleh Rasulullah SAW, para sahabat dan tabi’in. Tetapi al-Imam Ahmad bin Hanbal melakukannya selama empat puluh tahun.
Demikian pula Syaikh Ibn Taimiyah, setiap habis solat shubuh, melakukan zikir bersama, lalu membaca surat al-Fatihah berulang-ulang hingga Matahari naik ke atas, sambil mengangkat kepalanya menghadap langit. Sekarang saya nak tanya, menurut saudara, apakah para sahabat, al-Imam Ahmad bin Hanbal dan Syaikh Ibn Taimiyah termasuk ahli bid’ah, berdasarkan konsep bid’ah yang Anda katakan tadi? Kerana jelas sekali, mereka melakukan sesuatu yang belum pernah ada pada masa Rasulullah SAW.”
____________________________________________
Kesimpulannya keluasan memahami nas secara jelas dan terbuka amatlah perlu bagi menghindari diri dari terlalu rigid dan keras dalam memutuskan hukum.. Disini kita boleh lihat , konsep pemahaman anti bid’ah hasanah ala Wahhabi @ ittiba sunnah @ persatuan Muhammdiyyah @ salafi, adalah sangat lemah dan rapuh. Mereka sebenarnya terlalu ingin mengikuti sunnah Nabi SAW, namun dlm keghairahan mereka berbuat demikian, mereka menjadi terlalu eksterm dan tidak terbuka dlm memahami nas dan hadis Nabi SAW... MEREKA (PUAK WAHABI) terlalu ketat, keras, dan tidak mahu berlapang dada menerima bidaah hasanah... Tidak hairanlah Fatwa di Negara Arab Saudi lebih ketat, lebih keras kerana pada asalnya mereka menolak qiyas dan ijmak serta sumber2 hukum yg lain.
____________________________________________
Kesimpulannya keluasan memahami nas secara jelas dan terbuka amatlah perlu bagi menghindari diri dari terlalu rigid dan keras dalam memutuskan hukum.. Disini kita boleh lihat , konsep pemahaman anti bid’ah hasanah ala Wahhabi @ ittiba sunnah @ persatuan Muhammdiyyah @ salafi, adalah sangat lemah dan rapuh. Mereka sebenarnya terlalu ingin mengikuti sunnah Nabi SAW, namun dlm keghairahan mereka berbuat demikian, mereka menjadi terlalu eksterm dan tidak terbuka dlm memahami nas dan hadis Nabi SAW... MEREKA (PUAK WAHABI) terlalu ketat, keras, dan tidak mahu berlapang dada menerima bidaah hasanah... Tidak hairanlah Fatwa di Negara Arab Saudi lebih ketat, lebih keras kerana pada asalnya mereka menolak qiyas dan ijmak serta sumber2 hukum yg lain.
عَنْ مُعَاذِ بن جَبَلٍ، أَنّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا بَعَثَهُ إِلَى الْيَمَنِ، قَالَ لَهُ:”كَيْفَ تَقْضِي إِنْ عَرَضَ لَكَ قَضَاءٌ؟”، قَالَ: أَقْضِي بِكِتَابِ اللَّهِ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي كِتَابِ اللَّهِ؟”قَالَ: فَبِسُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ:”فَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِي سُنَّةِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟”قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِي وَلا آلُو، قَالَ: فَضَرَبَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَدْرَهُ، وَقَالَ:”الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي وَفَّقَ رَسُولَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِمَا يُرْضِي رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ”
“Dari Muadz ibn Jabal ra bahwa Nabi Saw ketika mengutusnya ke Yaman, Nabi bertanya: “Bagaimana kamu jika dihadapkan permasalahan hukum? Ia berkata: “Saya berhukum dengan kitab Allah”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam kitab Allah” ?, ia berkata: “Saya berhukum dengan sunnah Rasulullah Saw”. Nabi berkata: “Jika tidak terdapat dalam sunnah Rasul Saw” ? ia berkata: “Saya akan berijtihad dan tidak berlebih (dalam ijtihad)”. Maka Rasul Saw memukul ke dada Muadz dan berkata: “Segala puji bagi Allah yang telah sepakat dengan utusannya (Muadz) dengan apa yang diridhai Rasulullah Saw”.
sumber2 hukum dlm Islam : AL QURAN, HADIS, IJMAK, QIYAS, Istihsan,Maslahah Mursalah/Istishlah,Urf. العرف (Al-'Urf ), Istishab, Syar'u man Qablana, Madzhab Shahaby, Perbuatan ahlil Madinah.
SEKIAN
Semoga bermanfaa untuk kita semuA...
Tiada ulasan:
Catat Ulasan